HETI PIU RSPTN – IRC Unila

piu.rsptn@kpa.unila.ac.id

Lokakarya Gender dan Anti Kekerasan bagi Pelaksana Proyek HETI-ADB RSPTN Unila

Universitas Lampung menyelenggarakan acara lokakarya Gender dan Anti Kekerasan bagi Pelaksana Proyek RSPTN, IRC, dan WWTP Universitas Lampung yang disponsori oleh Asian Development bank (ADB). Acara dilaksanakan pada tanggal 22 Oktober 2024 lalu di Hodel Golden Tulip Bandar Lampung. Pada acara yang dipandu oleh Eka Tiara C. (Gender Specialist, PMSC HETI Project, Unila), kegiatan dimulai dengan menonton bersama film “The Impossible Dream”. Setelah film selesai, peserta dibagi ke dalam kelompok-kelompok untuk mendiskusikan film tersebut terkait dengan isu gender dan ketidakadilan gender. Hasil diskusi ini kemudian dituliskan pada kertas metaplan dan ditempel di dinding.

Selanjutnya, peserta diminta menulis pendapat mereka tentang kata “Perempuan” dan “Laki-laki” pada kertas metaplan. Semua peserta menggambarkan persepsi mereka tentang perempuan dan laki-laki dalam konteks gender.

Eka memberikan penjelasan mengenai perbedaan antara jenis kelamin dan gender. Jenis kelamin adalah pembeda antara perempuan dan laki-laki berdasarkan pemberian Tuhan yang bersifat universal dan tidak dapat dipertukarkan. Sedangkan, gender merupakan peran yang diberikan oleh masyarakat atau lingkungan sosial, yang dapat berubah sesuai dengan konteks waktu dan tempat, serta dapat dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan.

Dalam diskusi lebih lanjut, disampaikan bahwa laki-laki sering dianggap dominan karena faktor biologis, namun perempuan juga bisa memiliki kekuatan yang setara atau bahkan lebih dominan. Gender adalah konsep sosial yang dikonstruksi oleh masyarakat, berbeda dengan jenis kelamin yang bersifat biologis. Dalam konteks sosial, perempuan umumnya diidentikkan dengan peran domestik seperti mengurus rumah tangga, sementara laki-laki lebih diidentikkan dengan peran publik sebagai pencari nafkah.

Stereotipe bahwa perempuan hanya cocok di sektor domestik sementara laki-laki di sektor publik juga dibahas. Ketidakadilan terjadi ketika tanggung jawab dan peran hanya dilihat dari perspektif gender, seperti perbedaan penghasilan yang tidak adil antara laki-laki dan perempuan meskipun melakukan pekerjaan yang setara.

Diskusi kemudian berlanjut ke bentuk-bentuk kekerasan berbasis gender yang mencakup kekerasan fisik, mental, seksual, dan ekonomi. Ditegaskan bahwa kekerasan sering kali terlihat seperti fenomena gunung es, di mana yang tampak di permukaan hanya sebagian kecil dari masalah yang lebih besar di masyarakat. Kekerasan fisik biasanya lebih mudah dibuktikan melalui visum, sementara kekerasan emosional atau verbal sering kali lebih sulit untuk diukur.

Dalam pembahasan tentang kekerasan berbasis gender, dijelaskan bahwa tindakan-tindakan yang menargetkan individu berdasarkan gender mereka termasuk kekerasan fisik, psikis, dan seksual, serta bentuk-bentuk eksploitasi seperti eksploitasi ekonomi, perdagangan manusia, dan kekerasan berbasis gender online. Bentuk-bentuk kekerasan ini diatur dalam berbagai undang-undang seperti UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT), UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), dan UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), untuk memberikan perlindungan dan keadilan bagi korban.

Ditekankan pentingnya pendekatan komprehensif dalam mengatasi kekerasan berbasis gender, termasuk peningkatan pendidikan dan kesadaran publik melalui kampanye yang melibatkan berbagai pihak, penerapan kebijakan tempat kerja yang mendukung kesetaraan gender, serta penyediaan layanan pendukung bagi korban seperti konseling, bantuan hukum, dan rumah aman. Penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku kekerasan berbasis gender juga ditekankan sebagai upaya untuk melindungi dan memberikan rasa aman bagi korban.

Diskusi juga mencakup isu kekerasan berbasis gender dalam keluarga yang meliputi kekerasan domestik, pelecehan seksual, dan kekerasan ekonomi. Bentuk-bentuk kekerasan lain terhadap perempuan seperti mutilasi genital, eksploitasi dalam prostitusi, dan pelecehan emosional juga dibahas. Kekerasan domestik bisa berupa pemukulan atau ancaman psikologis yang menyebabkan ketakutan dan penderitaan pada korban, yang umumnya adalah perempuan dan anak-anak.

Ketidakadilan gender juga muncul dalam bentuk marginalisasi, subordinasi, stereotipe, kekerasan, dan beban kerja yang lebih besar pada perempuan. Marginalisasi terjadi saat perempuan dianggap emosional dan kurang rasional, sehingga ditempatkan dalam posisi yang kurang strategis di masyarakat. Pembagian kerja yang tidak adil juga mengakibatkan perempuan harus menangani peran domestik sekaligus berkontribusi secara ekonomi.

Diskusi film ini mengangkat berbagai tema ketidakadilan gender yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari, seperti budaya patriarki yang dominan dan beban ganda yang ditanggung perempuan dalam rumah tangga. Film tersebut menggambarkan perempuan yang melakukan sebagian besar pekerjaan domestik tanpa adanya pembagian tugas yang adil dengan pasangan, sering kali peran mereka sebagai pengasuh utama kurang mendapat perhatian dan dukungan emosional. Beban ini diidentifikasi bukan hanya sebagai aspek sosial tetapi juga sebagai bentuk ketidakadilan struktural.

Clarisa, salah satu peserta memberikan pandangannya mengenai film yang baru saja ditayangkan Ia menekankan bahwa film tersebut sangat inspiratif dan menyajikan berbagai pelajaran berharga. Salah satu pesan utama yang disampaikan adalah pentingnya komunikasi yang baik dalam keluarga. Film ini menggambarkan bagaimana kurangnya komunikasi dalam rumah tangga dapat mengakibatkan hilangnya keharmonisan keluarga, yang pada akhirnya berdampak negatif pada anak-anak. Anak-anak dalam keluarga yang kurang harmonis sering kali menjadi kurang perhatian dan kurang pendidikan di rumah.

Wahib selaku konsultan Health Safety & Environment dari PMSC yang ikut dalam diskusi ini menyampaikan bahwa seks merujuk pada perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan, sementara gender adalah peran dan perilaku yang dibentuk secara sosial dan budaya. Perbedaan ini mendasar karena seks adalah aspek biologis, sedangkan gender lebih kepada identitas dan kebiasaan yang dapat dilakukan siapa saja tanpa memandang jenis kelamin biologisnya.

Wahib mengutarakan bahwa dalam praktik profesional, pandangan yang mengaitkan gender dengan seks sebaiknya dihilangkan untuk menciptakan lingkungan kerja yang setara dan bebas dari bias gender. Pemikiran yang berfokus pada gender tanpa memandang seks membantu membangun tim yang lebih profesional dan produktif tanpa hambatan dari norma tradisional.

Dalam hal keselamatan kerja, Wahib juga menekankan pentingnya kebijakan dan mitigasi risiko yang mempertimbangkan keberagaman gender agar semua kebutuhan dan potensi risiko dapat diakomodasi secara adil. Inspeksi lapangan menunjukkan pentingnya penyediaan fasilitas yang memadai untuk berbagai gender, bukan hanya berdasarkan jenis kelamin (laki-laki dan perempuan). Pendekatan berbasis gender ini dapat membantu mengurangi diskriminasi dan risiko bullying yang sering muncul karena ketidaksetaraan pandangan tentang gender.

Dewayani, Gender Specialist dari ADB menambahkan bahwa dalam proyek kerja, perbedaan gender dan jenis kelamin perlu diperhatikan untuk menghindari kekerasan dan diskriminasi. Fasilitas seperti dormitory perlu dipertimbangkan sesuai dengan kebutuhan gender yang ada untuk mencegah konflik dan kekerasan, serta memitigasi risiko terkait gender yang muncul di tempat kerja.

Prof. Hartoyo selaku PIC Gender and Action Plan Proyek HETI Unila memberikan apresiasi terhadap berbagai tanggapan yang disampaikan oleh kelompok-kelompok peserta diskusi, dan setuju bahwa komunikasi serta keharmonisan dalam keluarga memiliki pengaruh yang signifikan terhadap seluruh anggota keluarga. Beliau menekankan bahwa minimnya komunikasi antara suami dan istri dapat menyebabkan mereka kurang memahami dan memperhatikan satu sama lain, yang selanjutnya berdampak pada kesejahteraan anak-anak. Ketidakteraturan dalam pengasuhan dan pendidikan anak-anak sering kali berakar pada pola komunikasi yang kurang baik antara orang tua.

Prof. Hartoyo menjelaskan bahwa gender berfokus pada identitas sosial dan peran yang diharapkan dalam masyarakat, sedangkan jenis kelamin mengacu pada perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan. Diskusi ini menekankan bahwa gender bukan hanya tentang peran tradisional, tetapi lebih kepada aktivitas dan tanggung jawab yang dapat dilakukan oleh siapa saja, tanpa membatasi diri pada jenis kelamin.

Dalam konteks Indonesia, Prof. Hartoyo menegaskan bahwa gender harus menghargai nilai-nilai Pancasila yang mencerminkan penghormatan terhadap nilai agama dan norma sosial yang ada. Hal ini berarti meskipun terdapat kesetaraan dalam pekerjaan, aspek-aspek nilai budaya dan agama tetap dihormati.

Diskusi tentang isu LGBT dan gender dalam konteks global dan lokal juga menyoroti pengaruh global dari lembaga seperti World Bank yang mendorong penerimaan LGBT dalam konsep gender. Namun, di Indonesia, penting untuk tetap berpegang pada nilai-nilai Pancasila yang mendukung norma agama dan sosial yang berlaku di masyarakat.

Ketidaksetaraan gender, terutama dalam bentuk diskriminasi terhadap perempuan, adalah alasan di balik munculnya gerakan feminisme. Namun, penerapan feminisme juga harus mempertimbangkan nilai-nilai Pancasila, agar tidak merusak harmoni sosial dan nilai-nilai agama.

Terbit Pada:

09 December 2024

Bagikan:

More from the blog

Ketua MPR RI Kunjungi RSPTN Unila

(Unila): Universitas Lampung (Unila) terus menunjukkan langkah konkret dalam pengembangan layanan kesehatan melalui pembangunan Rumah Sakit Perguruan Tinggi Negeri (RSPTN), Rabu, 20 Agustus 2025. Dalam...

Proyek RSPTN Unila Dimatangkan, Peluncuran Ditargetkan Awal 2026

(Unila) Proyek pembangunan Rumah Sakit Pendidikan Tinggi Negeri (RSPTN) Universitas Lampung terus dikebut. Dalam rapat evaluasi terbaru yang melibatkan Tim Pelaksana Implementasi (PIU) Unila...

Diskusi dan ‘Troubleshooting PPMS Proyek HETI Unila

Pada Hari Sabtu, tanggal 19 Juli 2025 lalu, PIU HETI Universitas Lampung melaksanakan diskusi dan koordinasi penanganan Project Performance Monitoring System (PPMS) Proyek HETI...

UNILA Gelar Pertemuan “Review Mission” Proyek Rumah Sakit Pendidikan

(Unila)Universitas Lampung mengadakan pertemuan strategis pada Kamis (15/5) untuk meninjau perkembangan proyek Rumah Sakit Pendidikan (RSPTN). Acara ini dihadiri oleh Ms. Yumiko Yamakawa dan...
EnglishIndonesianJapanese